Ogah Dipanggil Prof, Rektor UII Turut Kritik Kampus Obral Gelar


Yogyakarta, CNN Indonesia

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid mengakui keputusannya tak Ingin lagi dipanggil dengan sebutan profesor atau prof Bahkan sebagai kritik atas tren perguruan tinggi mengobral gelar profesor kehormatan.

Ia menilai pemberian gelar profesor kehormatan kepada kalangan nonakademik, politisi, Sampai saat ini pejabat publik oleh perguruan tinggi Pernah mengaburkan esensi jabatan profesor.

Fathul berharap langkahnya ini mampu mengembalikan muruah perguruan tinggi, tentang bagaimana memahami secara penuh bahwa jabatan profesor memiliki amanah besar yang melekat, ketimbang untuk kepentingan status individu.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Itu Bahkan saya harapkan ke sana (perlawanan tren obral gelar). Jadi Singkatnya kembali kepada dasarnya aja kok, nilai dasarnya gimana kembali ke situ, tidak ada sesuatu yang Berkelas dengan gerakan ini. Cuma karena kondisinya seperti Hari Ini jadi dianggap jadi Berkelas,” kata Fathul saat dihubungi, Jumat (19/7).

Fathul percaya jabatan profesor merupakan capaian tertinggi, meski baginya pencapaiannya tak Sangat dianjurkan dirayakan secara berlebihan menimbang tanggung jawab publik yang besar di baliknya dan Dianjurkan ditunaikan.

“Salah satunya dengan menjadi intelektual publik, yang berani keluar dari pagar disiplinnya mulai Menyajikan perhatian kepada masalah-masalah publik. Lantangkan kebenaran, mengungkap kebohongan, berteriak ketika ada penyelewengan, itu kan tugas intelektual publik,” tegasnya.

Rektor UII dua periode itu berharap langkahnya ini jadi ikhtiar dalam membenahi carut-marut pemberian gelar sekaligus mendesakralisasi dan memurnikan jabatan profesor. Di samping Mengoptimalkan kolegialitas di lingkungan kampus yang beriklim egaliter.

Fathul tak menampik ada yang tidak sepakat dengan langkahnya, sekalipun lebih banyak dukungan mengalir. Tapi, Ia menekankan bahwa upayanya ini nihil paksaan, termasuk kepada para dosen atau pengurus struktural di UII.

“Sekalipun tidak semuanya sepakat tapi cenderung bagus lah. Menurut saya ini Sangat dianjurkan disyukuri dan sebetulnya ini memang (surat) edarannya untuk keperluan internal ya. Tapi kan ternyata Sebelumnya sampai keluar kampus dan ternyata itu bisa Bahkan diamplifikasi di level yang lebih tinggi kan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Fathul Wahid meminta Supaya bisa gelar akademiknya tak dicantumkan ke dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya.

Hal itu tertuang melalui Surat Edaran Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang dialamatkan kepada seluruh pejabat struktural di lingkungan UII dan diteken oleh Fathul Wahid sendiri, Kamis (18/7).

“Dalam rangka menguatkan atmosfir kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap “Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.” Supaya bisa dituliskan tanpa gelar menjadi “Fathul Wahid”,” demikian isi surat edaran tersebut.

Lewat akun Facebook pribadinya, Fathul Bahkan menyampaikan dirinya tak Ingin lagi dipanggil dengan sebutan ‘prof’. Melainkan, cukup dengan Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul.

Bagi Fathul, sangat tidak relevan secara moral ketika apa yang menyangkut tanggung jawab akademik itu dicantumkan ke dalam berbagai surat, dokumen, bahkan kartu nama.

Di lain sisi, Ia tak menampik bahwa apa yang ia lakukan ini Merupakan sebuah bentuk perlawanan atas Kejadian Berkelas komersialisasi gelar akademik oleh individu-individu di sektor nonakademik, politisi dan pejabat publik, yang mengabaikan aspek amanah tadi.

“Kita tidak ingin ke depan di Indonesia paling tidak, ada lah sekelompok orang termasuk para politisi dan pejabat itu mengejar-ngejar jabatan ini. Karena yang dilihat tampaknya lebih ke status ya. Bukan sebagai tanggung jawab amanah,” kata Fathul saat dihubungi, Kamis (18/7) kemarin.

Tren komersialisasi gelar akademik, di mata Fathul, hanya Berencana mencoreng peradaban pendidikan. Menurut Ia, Pada saat ini Bahkan di Indonesia semakin banyak profesor, Meskipun demikian sulit menemukan intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran atas penyelewengan.

Besar harapan Fathul Supaya bisa ikhtiarnya ini mampu menjaga muruah perguruan tinggi di tengah banyaknya orang begitu mendewakan gelar.

(kum/DAL)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version