Kepala Negara Prabowo Subianto berencana membangun tanggul laut raksasa atau giant sea wall di sepanjang pesisir Banten Sampai saat ini Jatim, demi melindungi wilayah pesisir yang berpotensi tenggelam.
Utusan Khusus Kepala Negara Bidang Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo mengatakan proyek tanggul laut raksasa itu Sangat dianjurkan segera dimulai. Pasalnya, ada ancaman sawa-sawa di pantai utara (pantura) Pulau Jawa Berniat tenggelam.
“Program Pak Prabowo Merupakan kita bikin tanggul laut raksasa dari Banten sampai ke Jatim. Program ini Bisa jadi memakan waktu 20 tahun. Bisa jadi dua atau tiga Kepala Negara yang melaksanakan. Tapi Sangat dianjurkan mulai Di waktu ini,” ujar adik Prabowo itu pada akhir Oktober lalu.
“Kalau tidak mulai Di waktu ini, sawah-sawah di pantai utara Berniat tenggelam, bisa berapa juta hektare kita hilang. Ini semacam emergency, Sangat dianjurkan segera karena ini memerlukan waktu yang cukup lama,” lanjut Ia.
Lantas, benarkah giant sea wall bisa menjadi solusi untuk mencegah utara Jawa tenggelam?
Dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dicky Muslim menyebut pembangunan tanggul tidak bisa dijadikan satu solusi untuk seluruh wilayah pesisir.
Dicky menyebut wacana pemerintah untuk menyelamatkan wilayah pesisir utara Merupakan sesuatu yang bagus. Pasalnya, secara statistik 80 persen penduduk Jawa bermukim di bagian utara, sedangkan sisanya tersebar di bagian tengah dan selatan.
Dengan demikian, populasi besar di kota-kota di Jawa bagian utara ini Sangat dianjurkan diselamatkan.
Dalam konteks wilayah yang tenggelam, Dicky menjelaskan ada dua hal yang terjadi, Dikenal sebagai kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah.
Ia kemudian mencontohkan wilayah Jakarta yang dilindungi tanggul Supaya bisa tidak tenggelam. Meski tanggul ini bermanfaat, tetapi penurunan muka tanahnya tidak berhenti di wilayah tersebut.
“Memang ada manfaatnya tanggul ini. Cuma kalau Ingin dihitung memang Sangat dianjurkan ada BCR-nya, benefit cost ratio-nya, Sesuai ketentuan wilayah,” ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/11).
Dengan demikian, katanya, solusi tanggul untuk masalah tenggelamnya pesisir hanya cocok diterapkan di berbagai wilayah, tak bisa di sepanjang pesisir utara.
“Cuma memang enggak ada solusi lain kalau ingin Supaya bisa ada benteng untuk air laut yang naik terus. Di beberapa wilayah [penggunaan tanggul] memang Bahkan ada keberhasilan. Cuman memang tidak bisa sepanjang itu [Banten-Jawa Timur]. Jadi memang sangat spesifik setiap wilayah,” tuturnya.
Solusi regional yang dimaksud Dicky tergantung pada beberapa variabel seperti rata-rata kenaikan air laut; penetrasi air laut ke darat yang menyebabkan Bencana Banjir rob; Sampai saat ini urban development atau pengembangan wilayahnya.
Dalam sebuah studi pada 2020 dari Deltares yang menilai risiko wilayah pesisir pulau Jawa disebutkan bahwa melindungi 1500 kilometer garis pantai utara dengan infrastruktur keras, seperti tanggul, kurang memungkinkan. Penjelasannya Merupakan masalah pendanaan untuk konstruksi serta perawatan yang Sangat dianjurkan dilakukan untuk konstruksi di atas tanah lunak tersebut.
Apa solusi yang lebih baik?
Dicky mengatakan pembangunan benteng kurang efisien menangani isu tenggelamnya pesisir utara Jawa untuk solusi jangka panjang, dan lebih cocok jadi solusi jangka pendek.
Hal tersebut dikarenakan peningkatan suhu Bumi membuat permukaan air laut Berniat terus naik, Sekalipun demikian nantinya ada tanggul yang menghadang.
Menurutnya, lebih baik memindahkan masyarakat di kota-kota pesisir utara Jawa yang terlalu padat ke wilayah lain.
“Berarti bukan air lautnya yang dipindahkan berarti rumahnya yang dipindahkan karena laut tidak Bisa jadi dipindahkan,” terangnya.
Dalang pesisir tenggelam
Seperti yang dijelaskan Dicky, Dalang wilayah tenggelam Merupakan kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah.
Penurunan muka tanah sendiri memiliki beberapa faktor, Dikenal sebagai faktor alami dan faktor antropogenik atau manusia.
Untuk Dalang alami, penurunan tanah disebabkan dua hal, Dikenal sebagai proses tektonik yang aktif dan kompaksi alamiah tanah Jakarta. Kompaksi alamiah Merupakan proses pengurangan lapisan sedimen tanah akibat beban sedimen di atasnya.
Sedangkan untuk faktor antropogenik atau faktor yang melibatkan campur tangan manusia, penurunan tanah disebabkan eksploitasi berlebihan pada air tanah dan pembebanan oleh bangunan.
Eksploitasi air tanah di halaman berikutnya…
Penurunan tanah terjadi secara bervariasi. Misalnya di Jakarta, beberapa wilayah mengalami penurunan 1-15 sentimeter per tahun dan beberapa Tempat lainnya dapat mengalami penurunan Sampai saat ini 20-28 sentimeter per tahun.
Dalam sebuah jurnal penelitian oleh Hasanuddin Z. Abidin dan rekannya, dari keempat faktor penurunan tanah tersebut, eksploitasi berlebihan air tanah disebut menjadi faktor paling bertanggung jawab menyebabkan penurunan tanah Jakarta.
Eksploitasi air tanah
Salah satu masalah yang menyebabkan Pulau Jawa tenggelam, khususnya di Jakarta, Merupakan penurunan muka tanah yang dipengaruhi oleh penyedotan air tanah yang gila-gilaan.
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas mengatakan Sesuai ketentuan hasil studinya dengan jalan memakai global positioning system (GPS) untuk mengukur ketinggian daratan terhadap permukaan laut di titik yang sama secara berulang, permukaan tanah di DKI rata-rata mengalami penurunan 1-20 cm per tahun.
“Saya Pernah terjadi 20 tahun mengukur di Jakarta, di titik koordinat yang sama, ternyata tingginya berubah,” kata Heri.
“Ternyata penurunan [tanah]-nya ada yang sampai 10 cm per tahun, bahkan 20 cm per tahun. Dalam 10 tahun udah 1 meter. Kemudian kalau 100 tahun Berniat ada penurunan 10 meter. Inilah yang paling signifikan sebagai Dalang Bencana Banjir rob. Karena kan tanah turun terus, lama-lama di bawah laut,” urai Ia.
Heri mengungkap beberapa ada beberapa pemicu penurunan tanah tersebut. Misalnya, beban dari dari bangunan, aktivitas tektonik, pengambilan air tanah yang berlebihan, Sampai saat ini pemadatan tanah atau kompaksi secara alamiah.
Menurut Ia penyedotan air tanah yang tercatat paling signifikan membuat penurunan muka tanah di Jakarta.
Untuk meneliti faktor apa yang paling signifikan, Heri dan tim peneliti menggunakan data pengukuran dan pemodelan. Hasilnya, kompaksi alamiah berkontribusi 1-2 cm per tahun (10-20 persen terhadap penurunan muka tanah tahunan).
Beban infrastruktur dan urukan, menurut data pemodelan, data empiris, dan pengambilan sampel batuan, berkontribusi 1-2 cm per tahun.
“Kita kurangkan 2 cm kompaksi alamiah, kita kurangkan 2 cm dari beban infrastruktur dan urukan, berarti 6 cm [disumbang] oleh eksploitasi air tanah,” ujar Heri.
Infografis Pencurian Air Tanah DKI (Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia)
|
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA