Pernah Kena Pandemi Bisa Bikin Otak Rusak, Setara Menua 20 Tahun Lebih Mudah


Jakarta

Orang yang dirawat di rumah sakit karena infeksi Pandemi parah menunjukkan perubahan otak yang setara dengan penuaan 20 tahun. Temuan baru ini menunjukkan komplikasi neurologis yang bisa bertahan pada pasien Pandemi bahkan setelah sembuh dari infeksi tersebut.

Virus SARS-CoV-2 berpotensi memengaruhi banyak sistem dalam tubuh, termasuk otak yang tidak luput dari pengaruhnya. Pada pasien COVID yang mengalami COVID dalam jangka panjang atau long COVID, gejala seperti kabut otak termasuk yang paling sering dilaporkan.

“Setelah dirawat di rumah sakit karena Pandemi, banyak orang melaporkan gejala kognitif berkelanjutan yang sering disebut ‘kabut otak’,” kata penulis studi Dr. Greta Wood dari Universitas Liverpool dalam pernyataannya dikutip dari IFL Scince.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk melihat efek COVID pada otak, peneliti memantau 351 orang dengan riwayat rawat inap karena Pandemi parah, yang dibandingkan dengan hampir 3.000 peserta kontrol yang disesuaikan dalam berbagai faktor, termasuk usia dan jenis kelamin.

Mereka menemukan bahwa mereka yang mengalami dan tidak mengalami komplikasi neurologis akut akibat Pandemi memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk

“Kemampuan kognitif pasien ditemukan berada pada tingkat yang diharapkan untuk seseorang yang berusia 20 tahun lebih tua. Hal ini berlaku bahkan pada peserta yang tidak memiliki gejala neurologis saat pertama kali terkena COVID,” tulis peneliti.

Ketika mereka menjalani pemindaian pencitraan resonansi magnetik (MRI) 12-18 bulan setelah dirawat di rumah sakit karena COVID, pasien ditemukan memiliki materi abu-abu yang berkurang di beberapa bagian otak mereka dan peningkatan kadar protein yang terkait dengan Cidera otak.

“Temuan ini menunjukkan bahwa rawat inap dengan Pandemi dapat menyebabkan defisit kognitif global yang dapat diukur secara objektif yang dapat diidentifikasi bahkan 12-18 bulan setelah rawat inap,” kata penulis korespondensi Profesor Benedict Michael.

Sumber Refrensi Berita: Detik.com