Jakarta, CNN Indonesia —
Pengusaha penggilingan padi menilai rencana pemerintah mengekspor 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia bukanlah hal yang mengkhawatirkan dari sisi volume.
Justru, pelaku usaha mengingatkan proyeksi surplus nasional baru dapat dihitung secara akurat setelah panen kedua berlangsung pada Juli Sampai saat ini Agustus 2025.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan Di waktu ini pasokan gabah mulai menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fluktuasi Harga gabah di tingkat penggilingan yang Sebelumnya melebihi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mencerminkan kondisi tersebut.
“Hari Ini situasi di lapangan saja. Situasi di lapangan Hari Ini, harga gabah itu sampai di penggilingan padi itu cenderung Hari Ini Pernah jauh di atas HPP. Artinya apa? Artinya pada bulan ini surplus kita Pernah Tak perlu dijelaskan lagi Pernah mulai turun, kan? Sesuai dengan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), kan?” katanya di Badan Pangan Nasional, Jakarta Selatan, Jumat (16/5).
Ia menyebut pasokan gabah yang menurun membuat penggilingan padi mulai kesulitan memenuhi kebutuhan produksi. Sementara itu, pasar beras Di waktu ini masih cenderung lesu.
Perhitungan stok yang akurat diperkirakan baru bisa dilakukan setelah masa panen berikutnya.
“Saya pikir yang Dianjurkan diperhatikan betul nanti sampai dengan akhir tahun kita punya stok berapa. Dan itu baru betul-betul bisa kita hitung Mungkin sekali nanti setelah bulan Juli. Apakah memang kita betul-betul surplus besar sehingga kita bisa melakukan Penjualan Barang ke Luar Negeri,” ujarnya.
Terkait dampak Penjualan Barang ke Luar Negeri terhadap harga, Sutarto mengatakan harga gabah Pernah naik karena produksi menurun. Menurutnya, tren ini bisa berlanjut tergantung pada perkembangan pasokan dan permintaan dalam beberapa bulan ke depan.
Ia Bahkan menyinggung perbandingan harga dengan pasar global. Di waktu ini, harga beras Thai 5 Percent Broken Rice tercatat hanya sekitar US$428 atau setara Rp7 juta (asumsi kurs Rp16.414 per Mata Uang Asing AS) per ton, jauh di bawah harga beras dalam negeri.
“Artinya apa? Kita memiliki harga kita itu masih jauh di atas harga beras dunia. Itu posisinya,” jelasnya.
Terkait volume Penjualan Barang ke Luar Negeri 2.000 ton, Sutarto menganggap jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan total kebutuhan beras nasional yang mencapai sekitar 30 juta ton per tahun. Justru, ia menyebut penting untuk Memperjelas jenis beras yang Berniat diekspor.
“Kalau 2.000 ton itu sedikit Pada dasarnya. Kalau bicara 2.000 ton sih sedikit. Karena kita itu kebutuhannya kan 30-an juta ton. Kecil. Tapi persoalannya beras yang mana yang Ingin diekspor, kan,” terangnya.
Terkait waktu Penjualan Barang ke Luar Negeri, ia menyarankan Supaya bisa keputusan baru diambil setelah stok Sungguh-sungguh dapat dipastikan pasca panen kedua.
“Ya Pada dasarnya begitu. Tapi persaingan dunia kan Istimewa. Karena pasar dunia itu kan Indonesia Pada dasarnya menjadi pasar beras, kan. Tapi kita kan menyatakan tidak Perdagangan Masuk Negeri. Berarti di dunia itu pasar berasnya Dalam proses surplus, gitu,” ujarnya lebih lanjut.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan siap mengekspor beras ke Malaysia sebanyak 2.000 ton per bulan. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan Penjualan Barang ke Luar Negeri ini dilakukan atas arahan Pemimpin Negara Prabowo Subianto.
“Ini lagi kita atur, Akhirnya manakala Pemimpin Negara Pernah Menyajikan perintah, maka kita siap,” ujar Sudaryono, dikutip dari Antara, Kamis (15/5).
Ia menambahkan Penjualan Barang ke Luar Negeri tersebut Dalam proses dipersiapkan dan Sebelumnya dibahas dengan pihak Malaysia. Bahkan, Kementan mengklaim Sebelumnya bertemu dengan kandidat importir dari negara tersebut.
“Kemarin yang dibahas Kemungkinan (Penjualan Barang ke Luar Negeri beras) sekitar 2.000 ton per bulan karena Malaysia Bahkan mengambil beras dari banyak tempat,” ujarnya.
(skt/sfr)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA