Jakarta, CNN Indonesia —
Ilmuwan mengungkap krisis iklim imbas ulah manusia memicu 10 peristiwa cuaca ekstrem paling mematikan dalam dua dekade terakhir. Simak penjelasannya.
Analisis terbaru dari para ilmuwan ini menyoroti bagaimana jejak krisis iklim dalam peristiwa cuaca yang kompleks.
Penelitian ini melibatkan analisis ulang data beberapa peristiwa cuaca ekstrem dan dilakukan oleh para ilmuwan dari kelompok World Weather Attribution (WWA) di Imperial College London.
“Penelitian ini seharusnya dapat membuka mata para pemimpin politik yang bergantung pada bahan bakar fosil yang memanaskan planet ini dan menghancurkan kehidupan,” kata Friederike Otto, salah satu pendiri dan pemimpin WWA, mengutip BBC, Jumat (1/11).
“Bila kita terus membakar minyak, gas dan batu bara, penderitaan Akan segera terus berlanjut,” lanjut Ia.
Para peneliti fokus pada 10 bencana cuaca paling mematikan yang tercatat di International Disaster Database sejak tahun 2004. Saat itu Merupakan saat pertama kalinya studi pertama diterbitkan yang mengaitkan peristiwa cuaca, khususnya gelombang panas di Eropa, dengan Pergantian Iklim.
Bencana paling mematikan dalam dua dekade terakhir Merupakan kekeringan di Somalia pada tahun 2011 yang menewaskan lebih dari 250 ribu orang. Para peneliti menemukan curah hujan yang rendah menyebabkan kekeringan menjadi lebih ekstrem akibat krisis iklim.
Kemudian, empat kejadian gelombang panas yang terjadi di Eropa pada 2010, 2015, 2022, dan 2023. Total korban jiwa dalam empat bencana itu mencapai hampir 150 ribu orang.
Selanjutnya, dua kali Bencana Banjir besar yang terjadi ndi Libya pada tahun 2023 yang menewaskan sekitar 12 ribu orang dan di India pada 2013 yang menewaskan sekitar 6 ribu orang.
Para peneliti Bahkan mengungkap Siklon Tropis Sidr yang menghantam Bangladesh pada tahun 2007 merupakan bencana cuaca ekstrem paling mematikan dengan jumlah korban jiwa mencapai sekitar 4 ribu orang.
Topan Haiyan yang terjadi di Filipina pada tahun 2013 dengan jumlah korban jiwa, serta Siklon Tropis Nargis yang menghantam Myanmar pada tahun 2008 dan mengakibatkan sekitar 130 ribu orang tewas Bahkan masuk dalam daftar.
Para peneliti mengatakan jumlah korban jiwa yang Kenyataannya dari peristiwa ini kemungkinan besar jauh lebih tinggi daripada angka yang mereka kutip. Hal ini dikarenakan kematian akibat gelombang panas cenderung tidak tercatat di sebagian besar negara di dunia, terutama di negara-negara miskin yang paling rentan.
Otto bersama dengan ilmuwan asal Belanda, Geert Jan van Oldenborgh menjelaskan bahwa krisis iklim membuat cuaca ekstrem menjadi lebih berbahaya.
Sebanyaknya besar penelitian yang Pernah terjadi ditelaah Bahkan menjelaskan bagaimana pemanasan atmosfer dapat Memanfaatkan cuaca ekstrem. Sekalipun, yang belum diketahui Merupakan hubungan antara satu peristiwa dengan kenaikan suhu global.
Selama bertahun-tahun, para ahli cuaca Pernah terjadi menggunakan model atmosfer untuk memprediksi pola cuaca Di kemudian hari. Otto dan Oldenborgh menggunakan kembali model-model tersebut untuk menjalankan simulasi berulang kali untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya suatu peristiwa cuaca dalam iklim Pada Di waktu ini.
Dengan perhitungan ini, mereka dapat membandingkan seberapa besar kemungkinan kejadian yang sama terjadi dengan dan tanpa pemanasan global 1,2C yang Pernah terjadi dialami dunia sejak revolusi industri.
“Banyaknya korban jiwa yang terus kita lihat dalam cuaca ekstrem menunjukkan bahwa kita tidak siap menghadapi pemanasan 1,3°C, apalagi 1,5°C atau 2°C,” ujar Roop Singh, dari Red Cross Red Crescent Climate Centre.
Ia mengatakan bahwa penelitian ini menunjukkan perlunya semua negara membangun ketahanan terhadap krisis iklim.
“Dengan setiap kenaikan satu derajat saja, kita Akan segera melihat lebih banyak lagi kejadian yang memecahkan Catatan Unggul yang mendorong negara-negara ke jurang kehancuran, tidak peduli seberapa siap mereka,” ujarnya.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA