Jakarta, CNN Indonesia —
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Muhammad Khozin menilai putusan MK (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan sisi paradoksal atau bertentangan dengan putusan MK sebelumnya.
Khozin memandang putusan yang terbaru justru membatasi model keserentakan yang sebelumnya MK Pernah Menyajikan enam alternatif pilihan. Putusan sebelumnya yang dimaksud merujuk pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada 26 Februari 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“MK Pernah memberi enam opsi keserentakan Pemilihan Umum. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” kata Khozin dalam keterangannya , Jumat (27/6).
Politikus PKB itu berpandangan MK mestinya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum.
Apalagi, kata Khozin, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17, putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.
“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi Hari Ini justru MK menentukan model keserentakan,” kata Ia.
Khozin menilai putusan MK terbaru Nanti akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk Undang-Undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemimpin Negara), konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum, Sampai saat ini persoalan teknis pelaksanaan Pemilihan Umum.
Meski begitu, kata Ia, Dewan Perwakilan Rakyat Nanti akan menjadikan putusan terbaru MK bahan penting dalam perumusan perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum yang memang diagendakan segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia menuturkan, Dewan Perwakilan Rakyat Nanti akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia.
“Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum ini,” kata Khozin.
MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilihan Umum) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilihan Umum nasional antara lain pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, serta Pemimpin Negara dan wakil Pemimpin Negara, sementara Pemilihan Umum daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Putusan itu menambah deret perubahan sistem Pemilihan Umum elektoral yang sebelumnya Bahkan diubah MK. Pada 2024, MK Bahkan mengubah Sebanyaknya aturan terkait syarat ambang batas, baik pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah.
Untuk Pemilihan Kepala Daerah, dalam putusan Nomor 60 /PUU-XXII/2024, MK mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah bisa dicalonkan Organisasi Politik atau gabungan Organisasi Politik peserta Pemilihan Umum yang memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut.
Sedangkan untuk pilpres, MK menghapus 20 persen ambang batas yang selama ini berlaku. Justru, MK memerintahkan rekayasa konstitusional untuk menghindari banyaknya jumlah capres.
(fra/thr/fra)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA