Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Gelaran COP29 berlangsung di Baku, Azerbaijan mulai hari ini, Senin (11/11). COP29 merupakan pertemuan paling penting di dunia mengenai Pergantian Iklim.
Indonesia menjadi salah satu yang hadir dalam arena COP29. Acara yang berlangsung Sampai sekarang 22 November ini Berniat dihadiri oleh perwakilan pemerintah, swasta dan lembaga non-pemerintah, dengan jumlah mencapai ratusan Perwakilan.
Adik Kepala Negara Prabowo Subianto yang ditunjuk sebagai utusan khusus Kepala Negara untuk Pergantian Iklim, Hashim Djojohadikusumo, menjadi Kepala Perwakilan didampingi Wakil Kepala Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Apa itu COP29?
COP sendiri merupakan singkatan dari “Conference of the Parties”, dan dalam hal ini, para pihak atau “parties” Merupakan negara-negara yang Pernah meratifikasi perjanjian yang disebut UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pergantian Iklim). Dokumen tersebut ditandatangani pada 1992 oleh hampir 200 negara.
COP Merupakan badan pengambil keputusan dari perjanjian tersebut dan perwakilan dari negara-negara ini bertemu setiap tahun untuk merundingkan pendekatan Unggul untuk mengatasi akar Dalang Pergantian Iklim.
Perwakilan
Para Kepala Negara dan perdana menteri dari negara Perwakilan biasanya menghadiri konferensi ini di awal untuk Menyediakan dorongan. Berbeda dengan pada tahun ini, para pemimpin dari beberapa negara dengan perekonomian terbesar dan penghasil emisi karbon terbesar tidak hadir.
Kepala Negara AS Joe Biden, pemimpin Cina Xi Jinping dan Kepala Negara Perancis Emmanuel Macron dilaporkan tidak Berniat hadir. Demikian pula Kepala Negara Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Olaf Schulz dari Jerman, dan Narendra Modi dari India.
Mereka tidak hadir dengan berbagai alasan. Berbeda dengan, ada Bahkan yang beranggapan Azerbaijan tidak memiliki kekuatan Hubungan Luar Negeri atau keuangan untuk mengamankan kesepakatan yang signifikan di Baku.
Banyak pemimpin yang berpandangan bahwa kemajuan Berniat lebih Kemungkinan terjadi pada COP30 tahun depan di Brasil.
Mengontrol pemanasan global
Di bawah perjanjian Paris yang ditandatangani pada 2015, para pemimpin dunia sepakat untuk mencegah kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius. Supaya bisa hal tersebut dapat terwujud, negara-negara Wajib Mengoptimalkan upaya mereka untuk mengurangi gas-gas Dalang pemanasan global.
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, negara-negara berkomitmen untuk mengembangkan target pendanaan baru bagi negara-negara berkembang pada 2025. Dana ini Berniat digunakan untuk Membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan dampak terburuk dari kenaikan suhu.
Mencapai kesepakatan mengenai target pendanaan baru ini dipandang sebagai langkah penting dalam membangun kepercayaan antara negara kaya dan negara miskin karena sejauh ini rekam jejaknya kurang baik.
Negara-negara Afrika dan negara-negara kepulauan kecil ingin melihat pendanaan iklim secara total mencapai lebih dari US$1 triliun per tahun pada 2030. Sampai sekarang Pada Pada saat ini, negara-negara seperti China dan negara-negara Teluk diklasifikasikan sebagai negara berkembang dan dikecualikan dari kewajiban untuk berkontribusi.
Menurut Uni Eropa dan negara-negara kaya lainnya, hal tersebut Sangat dianjurkan diubah Bila jumlah keseluruhan dana ingin ditingkatkan.
Dengan demikian, pendanaan menjadi salah satu masalah utama dalam gelaran COP29.
Kritik untuk Azerbaijan
Dikutip dari BBC, Azerbaijan memiliki rencana besar untuk Mengoptimalkan produksi gas, Sampai sekarang sepertiganya, dalam satu dekade ke depan.
Pasalnya, gas merupakan salah satu Dalang utama Pergantian Iklim karena melepaskan gas rumah kaca yang membuat Bumi semakin hangat.
Ada Bahkan kekhawatiran bahwa para pejabat Azerbaijan menggunakan konferensi iklim ini untuk mendongkrak Penanaman Modal pada perusahaan minyak dan gas nasional negara tersebut.
Kemudian, ada Bahkan kekhawatiran yang mendalam mengenai penyelenggaraan acara penting ini di negara yang memiliki catatan buruk dalam hal HAM, di mana oposisi politik tidak ditoleransi.
Efek Pilpres AS
Kepala Negara Terfavorit AS Donald Trump dikenal sebagai seorang yang skeptis terhadap iklim dan Pernah menyebut upaya-upaya untuk Mengoptimalkan energi hijau sebagai sebuah “penipuan.” Kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024 dianggap oleh para ahli iklim sebagai sebuah kemunduran besar.
Tim Kepala Negara Biden yang hadir pada COP29 Berniat mendorong untuk mencapai kemajuan dalam penanganan iklim, tetapi mereka tahu bahwa apa pun yang mereka sepakati tidak Berniat mengikat pemerintahan yang baru.
Dengan terpilihnya Trump, AS kemungkinan Berniat menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris dan dari penyediaan dana.
Berbeda dengan, ada Bahkan kemungkinan bahwa terpilihnya kembali Trump dapat mendorong rasa persatuan yang baru, bahkan membangun sebuah Gabungan yang Kemungkinan Berniat menyetujui langkah besar dalam hal bantuan dana untuk negara-negara miskin.
Para ahli berpendapat bahwa krisis iklim dan respons kolektif terhadapnya Berniat bertahan lebih lama dari masa jabatan Trump.
Kondisi iklim Pada Pada saat ini
Masalah iklim Pernah menyulitkan berbagai negara pada tahun ini. Pada 2024, Sebanyaknya negara mengalami gelombang panas yang Berkelas dan badai.
Menurut layanan iklim Eropa, tahun ini Berniat menjadi tahun terpanas di dunia.
Hal ini mulai terlihat dari samudra yang menghangat dengan badai yang sangat kuat, yaitu Badai Helene dan Milton, yang menerjang AS beberapa waktu lalu. Bencana Banjir dahsyat yang menewaskan sedikitnya 200 orang di Spanyol pada Oktober Bahkan dipicu oleh suhu laut yang lebih tinggi di Mediterania.
“Pergantian Iklim Merupakan masalah kumulatif. Artinya, setiap tahun penundaan, ada tambahan pemanasan yang kita lakukan terhadap planet kita. Sekaranglah saatnya kita Sangat dianjurkan bertindak,” jelas Joeri Rogelj dari Imperial College London.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA