Bukti Nyata Obesitas di Balik Catatan Cek Kesehatan Gratis

Jakarta

Suasana sore di Stasiun MRT Blok M, Jumat (16/11/2025), tak jauh berbeda dari biasanya. Laju langkah pekerja kantoran, deru kereta, dan suara petugas yang sesekali mengingatkan pengguna. Justru di salah satu sudut, tenda cek kesehatan gratis (CKG) menarik perhatian orang-orang baru pulang kerja, salah satunya Riska (26).

Sekilas, penampilan pegawai swasta itu terlihat ideal. Tingginya 158 sentimeter, tubuhnya tampak proporsional. Ia sendiri Belum pernah merasa ada yang Sangat dianjurkan dikhawatirkan. Sampai Akhirnya, meteran lingkar perut yang dilingkarkan petugas berhenti di angka 85 sentimeter.

“Gula darah Terpercaya, tekanan darah Terpercaya. Tapi kolesterol sama buncitnya nih,” celetuk Adhi, petugas Puskesmas Kebayoran Baru, yang tengah bertugas di MRT.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riska hanya terkekeh, mencoba menertawakan kecemasan yang tiba-tiba datang. Pertanyaan pertamanya polos. “Terus Dianjurkan gimana?”

Saran petugas puskesmas kala itu cukup sederhana, tapi menurut Riska terasa berat untuk konsisten dilakukan. “Perbaiki pola makan, kurangi gorengan, perbanyak serat, buah, dan sayur,” demikian pesan petugas puskesmas.

Belum pernah disangka, semua keluhan kecil yang selama ini dianggap wajar, lemas, Mudah capek, ternyata bersumber dari perutnya yang kian membuncit.

Padahal, lemak yang menumpuk di sekitar perut bukan sekadar merusak penampilan. Ia bersembunyi sebagai lemak visceral, jenis lemak yang mengganggu metabolisme lipid dan Mengoptimalkan risiko trigliserida melonjak. Efeknya? Bisa merayap perlahan tanpa rasa sakit, Sampai sekarang suatu hari muncul sebagai penyakit tidak menular (PTM).

Petugas tengah mengecek hasil pengukuran lingkar perut di tenda cek kesehatan gratis MRT Blok M. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

Cerita lain datang dari Mediana (29), pekerja kantoran domisili Tangerang Selatan. Sehari sebelumnya, ia mendapat broadcast WhatsApp dari rekan, ada CKG di stasiun MRT, yang bisa disambangi tanpa Dianjurkan mencuri waktu kerja.

“Kalau ke puskesmas kan Dianjurkan cuti. Ini tinggal pulang kerja mampir,” kata Ia, saat ditemui detikcom.

Di meja pemeriksaan, tubuhnya ditimbang dan diukur. Hasilnya membuat ia terdiam sejenak, Mediana masuk kategori obesitas tingkat 2. Dengan berat di angka 90 kilogram, Mediana mengaku Pernah lama curiga, tapi baru kali ini berani memeriksakan diri dan cukup terkejut dengan hasilnya.

Pasalnya, obesitas tingkat 2 menandakan ia Pernah memiliki indeks massa tubuh (IMT) antara 35 dan 39,9 kg/m². Walhasil, risiko masalah kesehatan dan potensi memerlukan penanganan medis akibat komplikasi penyakit jantung, stroke, dan diabetes tipe 2 ikut meningkat.

Petugas menyarankannya untuk datang ke puskesmas mengikuti program perubahan pola hidup khusus bagi peserta dengan risiko PTM. Saran yang terasa tepat, Mediana memang sering merasa Mudah lelah, apalagi dengan ritme kerja yang padat dan jadwal tidur tak menentu.

Melinda dinyatakan obesitas level 2 dengan lingkar perut di atas 90 cm.Melinda dinyatakan obesitas level 2 dengan lingkar perut di atas 90 cm. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

“Ternyata Dianjurkan lebih hati-hati. Capek selama ini ya karena badan Pernah kasih sinyal,” katanya.

Meski sempat cemas, ia merasa layanan CKG seperti ini sangat menolong. Tak ada antre panjang, tak Sangat dianjurkan cuti, dan Yang terpenting, hasilnya membuatnya tersadar.

“Pokoknya Jangan ragu cek. Lebih baik tahu Hari Ini daripada nanti,” tambahnya.

Potret Obesitas dari 50 Juta Peserta CKG

Data nasional CKG Sampai sekarang akhir Oktober 2025 menunjukkan fakta mengkhawatirkan tentang kondisi kesehatan masyarakat dewasa. Dari lebih dari 50 juta peserta, tingkat risiko PTM tampak jelas:

  • 96 persen kurang Olahraga
  • 41,9 persen mengalami karies gigi
  • 32,9 persen obesitas sentral
  • 24,4 persen overweight dan obesitas

Manakala dirinci lebih lanjut, ada gambaran jelas siapa kelompok yang paling banyak terdampak obesitas.

Obesitas pada perempuan (Merujuk pada usia):

  • 40-59 tahun: 1.142.250 jiwa
  • 30-39 tahun: 594.781 jiwa
  • 25-29 tahun: 256.316 jiwa
  • 18-24 tahun: 171.357 jiwa

Angka tersebut menunjukkan bagaimana perempuan usia produktif, bahkan sebelum memasuki usia 30 tahun Pernah banyak yang mengalami penumpukan lemak berlebih.

Obesitas pada laki-laki (Merujuk pada usia):

  • 25-39 tahun: 314.970 jiwa
  • 45-59 tahun: 298.597 jiwa
  • >60 tahun: 121.633 jiwa
  • 18-24 tahun: 81.196 jiwa

Kelompok laki-laki muda Bahkan menghadapi risiko serupa, terutama di rentang usia produktif ketika pekerjaan menuntut banyak duduk dan Olahraga minim.

Daerah dengan jumlah obesitas terbanyak hasil CKG di lebih dari dua juta kasus, terbanyak ditemukan di:

  • Jateng: 407.259 orang
  • Sumut: 252.916 orang
  • Banten: 205.355 orang

Angka-angka ini memperlihatkan obesitas bukan hanya masalah kota besar, wilayah dengan populasi dan aktivitas ekonomi tinggi Bahkan menyimpan kasus obesitas yang masif.

Di balik tren mengkhawatirkan itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menyebut belakangan pola hidup masyarakat berubah signifikan.

Yang tadinya kita Dianjurkan jalan dulu untuk mendapatkan makanan, Hari Ini nggak. Ibu rumah tangga yang dulu Dianjurkan masak, Hari Ini tinggal pesan. Bukan cuma fast food, makanan apa pun Hari Ini tersedia dan gampang diakses onlineDirektur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi

Hanya dengan beberapa klik, makanan datang dalam waktu singkat. Kemudahan ini memang menyenangkan, tetapi, kata dr Nadia, jelas menciptakan lingkungan obesogenik. Kondisi lingkungan yang mendorong seseorang menjadi obesitas tanpa disadari.

“Teknologi membuat semuanya instan. Tapi sisi lain, ia Bahkan membuat kita makin jarang bergerak,” tegasnya sembari menekankan hasil CKG di hampir seluruh kelompok usia menunjukkan 90 persen dari mereka minim aktivitas gerak.

Hal yang Bahkan dibenarkan dokter spesialis penyakit dalam Dicky Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, obesitas terbanyak dilatarbelakangi minim aktivitas gerak dan pola makan tak sehat.
Padahal, obesitas berada di pusat lingkaran penyakit kronis. Diabetes, hipertensi, stroke, semuanya sering dimulai dari sini.

Sebagai Ketua Klaster Metabolic Disorder, Cardiovascular, and Aging FK UI, dr Dicky menilai banyak orang salah kaprah soal ‘makanan sehat’. “Bilangnya nggak makan nasi itu sehat. Padahal gantinya mie atau gorengan. Sama saja,” katanya.

Ia menyarankan memakai pedoman Isi Piringku dari Kemenkes:

  • Setengah piring: sayur dan buah
  • Setengah piring: makanan pokok + protein
  • Kurangi tepung-tepungan dan makanan olahan
  • Minum cukup, aktif minimal 30 menit sehari

Anak Obesitas Makin Banyak, Dampaknya Makin Luas

Viral bayi bernama Kenzie, punya bobot 27 kilogram di usia satu tahun. Ibunda Kenzie, Pitriah mengungkapkan berat badan anaknya memang berlebih sejak ia lahir.Akibat obesitas yang dialaminya, tumbuh kembang Kenzie terganggu. Tidak seperti bayi seusianya, Kenzie belum bisa berdiri tegak.Viral bayi bernama Kenzie, punya bobot 27 kilogram di usia satu tahun. Ibunda Kenzie, Pitriah mengungkapkan berat badan anaknya memang berlebih sejak ia lahir.Akibat obesitas yang dialaminya, tumbuh kembang Kenzie terganggu. Tidak seperti bayi seusianya, Kenzie belum bisa berdiri tegak. Foto: Pradita Utama

Di masa lalu, diabetes pada anak biasanya merupakan diabetes tipe 1 (autoimun). Justru Pada saat ini, kata dr Dicky, diabetes tipe 2 pada anak meningkat pesat, dipicu langsung oleh obesitas sejak dini.

“Anak obesitas Hari Ini makin banyak, dan diabetes tipe 2 pada anak ikut naik,” tuturnya.

Faktor genetik Bahkan memperbesar risiko. “Kalau salah satu orangtuanya diabetes, risiko anak tiga kali lipat lebih tinggi.”

Hal sederhana yang sebetulnya bisa dilakukan dengan mudah Merupakan modifikasi Kebiasaan. Makan seimbang, Olahraga teratur, tidur cukup, dan kelola stres.

“Ini dasar semua terapi obesitas,” jelas dr Dicky.

Mengutip Pedoman Nasional Pelayanan Klinis (PNPK) Obesitas, dr Dicky menekankan Olahraga minimal 150 menit per minggu sangat disarankan. Perubahan kecil yang dimulai sejak dini dapat mencegah obesitas dan diabetes tipe 2 tanpa Dianjurkan langsung memakai Medis.

Manakala hasil belum optimal, dokter baru mempertimbangkan farmakoterapi. “Tidak semua pasien langsung diberi Medis. Kami menilai dulu kondisi metaboliknya,” katanya.

Medis hanya berfungsi sebagai pendamping, bukan solusi utama, serta Dianjurkan digunakan dengan pengawasan ketat karena tetap memiliki risiko efek samping. Ketika dua pilar sebelumnya tidak berhasil, barulah pasien dipertimbangkan untuk operasi bariatrik, prosedur yang mengecilkan kapasitas lambung guna mengontrol asupan.

Justru ini bukan solusi instan. “Bariatrik Dianjurkan sesuai indikasi medis. Setelah operasi, pola Kebiasaan Sehat tetap Harus,” tegasnya.

Poinnya jelas: akar keberhasilan penanganan obesitas tetap ada pada Kebiasaan. Medis dan operasi hanyalah pendukung, tanpa perubahan perilaku, berat badan bisa kembali naik kapan saja.

Kasus Mediana dan lainnya hanyalah Sebanyaknya potongan kecil dari gambaran besar yang tertangkap dalam program CKG. Obesitas Pada saat ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup orang dewasa, tetapi Bahkan mengancam masa depan generasi muda lewat lonjakan penyakit tidak menular pada anak.

dr Nadia menegaskan temuan-temuan ini menjadi dasar pemerintah Memperjelas layanan skrining dan intervensi berbasis komunitas.

“Permasalahan lain Bahkan overweight sama obesitas pada anak-anak Bahkan besar. Bukan hanya pada kelompok tadi usia dewasa tapi Bahkan pada anak-anak, kita Pernah mengalami permasalahan tersebut,” terang dr Nadia.

“Kuncinya yuk sama-sama kita CKG, mulai benahi pola hidup, lebih sehat,” pungkasnya.

(naf/kna)

Sumber Refrensi Berita: Detik.com