Jakarta, CNN Indonesia —
Ahli menyebut candu atau adiksi terhadap judi online (judol) sama bahayanya dengan candu Narkotika.
Judol Dalam proses marak dan kian meresahkan. Perilaku judi bahkan Sebelumnya masuk kategori adiksi.
Psikiater konsultan adiksi Kristiana Siste Kurniasanti menjelaskan, adiksi merupakan penyakit kronis yang melibatkan interaksi kompleks antara sirkuit otak, genetik, lingkungan, dan pengalaman hidup seseorang.
“Parah mana candu Narkotika dan judol? Jawabannya sama parahnya, sama beratnya, sama tata laksananya [yang mana] Harus komprehensif,” kata Siste dalam webinar bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (26/7).
Siste berkata, kondisi otak dengan ketergantungan memengaruhi area otak yang mengatur kontrol diri, membuat keputusan, keinginan terus-menerus, emosi Senang, dan euforia serta emosi dan memori.
Kerusakan otak di area-area ini-lah sehingga bisa dibilang dampak candu judol dan candu Narkotika sama.
Riset yang dilakukan FKUI-RSCM pada 2021 menemukan, mayoritas (68,9 persen) pelaku judol berusia remaja Sampai sekarang dewasa muda (18-25 tahun). Usia ini masih tergolong usia produktif.
Pertanyaannya, apakah kerusakan otak ini bisa diperbaiki?
“Semakin Mudah penanganan, Niscaya pemulihan bisa lebih sempurna,” katanya.
Siste menjelaskan, dilihat dari perjalanan penyakit, pecandu judol dan pecandu Narkotika Nanti akan diberikan Medis-obatan yang kurang lebih mirip.
Dalam kebanyakan kasus yang ditangani Klinik Adiksi RSCM yang dipimpin Siste, pecandu judol Bahkan memakai Narkotika jenis amfetamin atau sabu.
Di waktu ini, adiksi judol Bahkan Sebelumnya masuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5 dan International Classification of Diseases (ICD) 11 sebagai gangguan jiwa dengan sebutan gambling disorder.
Karena Sebelumnya masuk dalam kategori gangguan atau penyakit, adiksi judol memiliki tata laksana penanganan. Penanganan adiksi judol atau adiksi perilaku meliputi terapi Medis (psikofarmaka), psikoterapi, dan stimulasi otak.
“Masalah judol ini Harus segera diatasi karena beban yang diberikan angkanya tinggi. [Dampak] banyak di area keuangan, relasi, psikologi, kesehatan fisik, kriminal, dan karier. Dampaknya ke seluruh aspek,” jelas Siste.
(els/asr)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA