1 Dekade Perjanjian Paris, Sejauh Apa Dunia dari Target 1,5 Celsius?


Jakarta, CNN Indonesia

Perjanjian Paris merayakan hari jadinya yang ke-10 dalam misi menekan pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan periode pra-industri. Meski tak berjalan mulus, misi ini terus diupayakan.

Sekelompok negara yang sangat rentan terhadap Pergantian Iklim, yang menyebut diri mereka Gabungan Ambisi Tinggi, bersatu untuk mendorong target Perjanjian Paris.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada COP 2015 di Paris, para Perwakilan melanjutkan tema yang berima dengan mengenakan pin yang bertuliskan, “1,5 untuk bertahan hidup,” sebagai referensi terhadap ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh pemanasan global, terutama bagi wilayah-wilayah rendah yang terendam Bencana Banjir akibat mencairnya es dan naiknya permukaan laut.





Misi 1,5 derajat Celcius tersebut, seperti yang kita ketahui Hari Ini, hampir Jelas tidak tercapai. Kita Pernah terjadi melewati batas tersebut atau Ke arah ke arah sana.

Setiap ton polusi yang menangkap panas membuat dunia menjadi lebih berbahaya. Berbeda dari, setiap ton polusi yang dikurangi membuat dunia menjadi lebih Berkualitas bagi generasi mendatang.

Meski upaya-upaya yang dilakukan belum Menyajikan hasil yang sesuai harapan, tetapi yang perjalanan memerangi Pergantian Iklim ini bukan tidak berprogres.

“Kita Pernah terjadi menempuh perjalanan yang Berkelas jauh sejak Paris,” kata Jean Su, direktur keadilan energi dan pengacara senior di Center for Biological Diversity, Minggu (9/11), dikutip dari CNN.

Menurut Su yang patut dicatat Merupakan fakta bahwa pemimpin dunia pada COP 2023 di Dubai menambahkan ke dalam Perjanjian Paris yang menyerukan untuk beralih dari bahan bakar fosil.

Dalam pertemuan tersebut, Su mengatakan “kita Sungguh-sungguh mencapai puncak dalam hal menangani akar Dalang darurat iklim.”

Pertempuran melawan Pergantian Iklim menjadi urgensi global karena dampaknya yang Pernah terjadi semakin mengancam. Beberapa kejadian seperti badai besar yang melanda Puerto Rico pada 2017 Sampai sekarang Jamaika pada Oktober ini, menunjukkan badai Atlantik terkuat yang pernah tercatat.

Memalingkan wajah dari fakta tersebut, pada musim gugur ini, Pemimpin Negara AS Donald Trump menentang konsensus ilmiah tentang pemanasan global dengan menyatakan bahwa Pergantian Iklim Merupakan “penipuan terbesar yang pernah dilakukan terhadap dunia.”

Pernyataan tersebut dilontarkan Trump setelah membatalkan miliaran Mata Uang Amerika untuk proyek energi bersih dan berencana membuka wilayah luas di Arktik untuk penambangan minyak.

Ironisnya, langkah Trump tersebut terjadi ketika para ilmuwan menyadari bahwa mereka Pernah terjadi meremehkan beberapa ancaman Pergantian Iklim.

Sebagai contoh, bulan lalu para peneliti melaporkan bahwa Bumi Pernah terjadi melewati salah satu titik kritis iklim pertamanya, dengan persentase yang sangat besar dari terumbu karang mengalami kesulitan akibat pemanasan global, sehingga kita memasuki “kenyataan baru” di mana terumbu karang tersebut tidak Berencana dapat pulih.

Meski Trump menganggap Pergantian Iklim sebagai penipuan, bukan berarti seluruh dunia setuju.

Henn, aktivis iklim, menyoroti energi terbarukan sebagai titik terang. Pada paruh pertama 2025, energi terbarukan untuk pertama kalinya menggeser batu bara sebagai sumber energi utama dunia.

Tenaga angin dan surya, yang tidak menghasilkan polusi penangkap panas seperti batu bara dan gas, diperkirakan Berencana memenuhi 90 persen permintaan listrik baru tahun ini.

“Transisi ini berlangsung lebih Efisien dari yang diperkirakan orang pada tahun 2015,” kata Henn.

Menurut lembaga nirlaba Energy and Climate Intelligence Unit, pertumbuhan ini bahkan 15 kali lebih Efisien, Bila kita melihat instalasi tenaga surya.

Sementara itu, dalam sebuah survey pada 2024, pandangan publik terhadap isu ini menunjukkan 89 persen responden global Membantu tindakan politik yang lebih kuat dalam menangani Pergantian Iklim.

“Itu Merupakan mayoritas super,” kata Mark Hertsgaard, direktur eksekutif Covering Climate Now, kelompok di balik kolaborasi media yang disebut 89 Percent Project.

“Dan itu Merupakan mayoritas yang tidak menyadari bahwa mereka Merupakan mayoritas. Orang-orang dalam mayoritas itu berpikir bahwa mereka hanya 29 persen dari populasi. Mereka berpikir mereka Merupakan minoritas,” tambahnya.

Dukungan tersebut bahkan datang dari AS dengan 79 persen pemilih terdaftar yang disurvei pada Mei 2025 mengatakan mereka Membantu Amerika Serikat menjadi bagian dari Perjanjian Paris, dan 75 persen Membantu regulasi karbon dioksida sebagai polutan.

Para aktivis iklim Baru saja merencanakan upaya baru untuk memanfaatkan mayoritas super ini, di antaranya Merupakan dorongan untuk Perjanjian Nonproliferasi Bahan Bakar Fosil.

Alex Rafalowicz, direktur eksekutif inisiatif tersebut, mengatakan bahwa ide perjanjian ini didasarkan pada putusan Mahkamah Internasional pada awal tahun ini yang menyatakan negara-negara secara hukum bertanggung jawab untuk mengurangi polusi yang memicu pemanasan global.

(lom/dmi)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA